senja di Jamursbamedi |
Dan malam itu
juga, kami harus keliling kotaSorong mencari apotik yang menjual obat anti
malaria. Nggak kebayang kalau tergigit
nyamuk yang satu ini. Siksaannya bisa seumur hidup kalau lagi kumat.
But thanks God...
Dapet juga obat
yang kami cari, meski dengan harga yang ekstra jauh lebih mahal daripada beli
di apotik sekitar rumahku. Nggak pake nunggu lagi, kami langsung menegak dua
butir obat anti malaria. Saat itu juga..sambil berdoa nggak akan ketemu nyamuk
ini.
***
Pagi-pagi kami
sudah harus bersiap. Kami menggunakan mobil menuju pelabuhan perikanan Sorong
yang cerah. Lokasinya nggak jauh dari hotel (hotel ? jendelanya nggak bisa
dibuka ) tempat kami menginap. Dan perjalanan mengarungi kepala burung Papua
pun dimulai. Medannya kayak gimana jujur aja nggak tahu pasti,yang jelas lewat
laut...hihiii
Seharian waktu
kami habiskan untuk mengarungi laut yang berbatasan dengan lautan Pasifik itu.
Caklawala sejauh mata memandang di sisi kiri
eksotik perbukitan Papua yang berbatas dengan pantai, juga sisa-sisa
gempa yang ”membelah” perbukitan hingga kemudian menghilang dan berganti laut
lepas.
Puluhan
lumba-lumba yang mengiringi speedboat kami. Semua begitu menakjubkan. Dari laut
yang tenang hingga ombak tinggi menggulung. Ketinggian mungkin mencapai empat
meter . Dan gilanya, kami semua nggak pakai pelampung. Terobang ambing...
Gilaaa...
Tapi kenapa yang
terasa saat itu ”fun” aja. Nggak kepikiran gimana kalau kecebur dan speedboat
kami terbalik terkena hempasan ombak di laut lepas yang unpredictable.
Dan benar kan...
Kira-kira 300
meter sebelum kami mendarat di Kampung Wau di kawasan Jamursbamedi, satu
speedboat terhempas ombak dan terbalik hingga
harus
berenang hingga
ketepian. (untung bukan speedboad rombonganku..hiiiks)
Meski properti
basah termasuk kamera...tapi semua masih terkendali alias masih bisa berfungsi
normal (hebat juga kamera Bang Des..
***
Berada di
perkampungan adat yang pantainya menjadi salah satu tempat bertelur penyu sangat
mengasyikkan. Meski tim dari WWF sudah beberapa kali melakukan survei dan
beramahtamah dengan warga kampung ini.Banyak banyak hal yang lagi-lagi tak
terduga kami temui.
cap : Anak-anak Kampung wau
Rombongan kami
langsung menuju ke rumah mama Tabitha. Rumahnya cukup besar. Mama Tabitha ini
adalah perempuan ”yang dituakan” di Kampung Wau dan pemilik tanah dimana
penyu-penyu itu bertelur. Kami menginap di rumah ini.
cap : Ngobrol dengan mama Tabitha
Nah, yang bikin
repot ni...adalah urusan mandi dan panggilan alam lainnya. Meski ada beberapa
rumah berjarak cukup berdekatan. Beberapa teman sedikit kebingungan mencari
tempat untuk BAB...menahan BAB. Karena nggak ada MCK.
Sebenarnya sih
tinggal memilih. Mo di pantai (menggali pasir seperti penyu), di hutan (siap
ditemani babi hutan, anjing atau biawak), atau ke satu toilet milik warga yang
jaraknya cukup jauh..nggak masalah. Tapi akan jadi masalah kalau itu malam hari
kondisi gelap gulita karena tidak nggak ada listrik di kampung ini. penerangan
menggunakan senter..alternatif terakhir (ngempet sampai kondisi memungkinkan
untuk BAB....hiiiii)
Tantangan kedua,
mama Tabitha memelihara banyak anjing di rumahnya. Bagi warga di sana anjing
penjaga itu hal biasa. Bahkan menjadi hal wajib kali yaa..
Tapi, coba
bayangkan kalau anjing itu juga punya aktifitas seperti pemilik rumahnya. Anjingnya
bertebaran dimana-mana. Habis pergi dari pantai atau hutan, masuk rumah dan
menjelajah sampai kamar dan dapur. Membaur menjadi satu dengan tuan rumah.Biasa
masuk dan keluar rumah atau ”jak-jakan” di dalam kamar, beberapa ruanga hingga
ke dapur menemani memasak...waaaakkkk
Ini jadi
parah..apalagi aku takut dengan binatang yang satu ini. Bikin nggak bisa tidur
aja. Jangan-jangan tu anjing masuk kamar waktu kami tidur. Tidur beralas tikar
dan sleeping bag dengan deg-degan kalau sewaktu-waktu ada anjing yang masuk.
Namanya capek akhirnya bablas aja...
***
Paginya, aku dan
beberapa teman mengelilingi perkampungan. Selain beramah tamah dengan warga
kampung, melihat kondisi kampung yang ternyata nggak jauh jaraknya dari
Manokwari (warga biasa pergi ke sana untuk belanjan keperluan dibanding pergi
ke Sorong).
Lihat bangunan
gedung sekolah dasar yang rusak karena gempa dan nggak ada bantuan pemerintah.
Yang nampak tenda-tenda untuk sekolah darurat bagi anak-anak di kampung Wau.
Nah, satu lagi
nih. Aku nggak tahu awal mulanya gimana waktu rombongan kami kumpul dengan
beberapa warga untuk ngobrol soal penyu di depan rumah mama Tabitha, datang saudara
mama (aku lupa namanya). Terjadi perdebatan dengan warga soal keberadaan kami
di tempat mereka. Intinya dia nggak suka dengan keberadaan kami. Bicara
banyaklah dia dengan bahasanya (aku nggak terlalu konek..)
Yang aku dengar
en bikin jantung deg-degan rasanya mo copot ketika dia mengacungkan parang dan
mengancam kami. sereeem banget nih ancaman orang ini.
”Kalau nggak
segera angkat kami dari tempat mereka, maka kami akan dibunuh satu persatu.”...
What happened next...
Follow me on part
4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar