Minggu, 06 November 2011

Menyusuri Kepala Burung Papua

senja di Jamursbamedi


Dan malam itu juga, kami harus keliling kotaSorong mencari apotik yang menjual obat anti malaria. Nggak kebayang  kalau tergigit nyamuk yang satu ini. Siksaannya bisa seumur hidup kalau lagi kumat.

But thanks God...
Dapet juga obat yang kami cari, meski dengan harga yang ekstra jauh lebih mahal daripada beli di apotik sekitar rumahku. Nggak pake nunggu lagi, kami langsung menegak dua butir obat anti malaria. Saat itu juga..sambil berdoa nggak akan ketemu nyamuk ini.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali..hiiiii

***

Pagi-pagi kami sudah harus bersiap. Kami menggunakan mobil menuju pelabuhan perikanan Sorong yang cerah. Lokasinya nggak jauh dari hotel (hotel ? jendelanya nggak bisa dibuka ) tempat kami menginap. Dan perjalanan mengarungi kepala burung Papua pun dimulai. Medannya kayak gimana jujur aja nggak tahu pasti,yang jelas lewat laut...hihiii

Seharian waktu kami habiskan untuk mengarungi laut yang berbatasan dengan lautan Pasifik itu. Caklawala sejauh mata memandang di sisi kiri  eksotik perbukitan Papua yang berbatas dengan pantai, juga sisa-sisa gempa yang ”membelah” perbukitan hingga kemudian menghilang dan berganti laut lepas.

Puluhan lumba-lumba yang mengiringi speedboat kami. Semua begitu menakjubkan. Dari laut yang tenang hingga ombak tinggi menggulung. Ketinggian mungkin mencapai empat meter . Dan gilanya, kami semua nggak pakai pelampung. Terobang ambing...

Gilaaa...

Tapi kenapa yang terasa saat itu ”fun” aja. Nggak kepikiran gimana kalau kecebur dan speedboat kami terbalik terkena hempasan ombak di laut lepas yang unpredictable.

Dan benar kan...

Kira-kira 300 meter sebelum kami mendarat di Kampung Wau di kawasan Jamursbamedi, satu speedboat  terhempas ombak dan terbalik hingga harus
berenang hingga ketepian. (untung bukan speedboad rombonganku..hiiiks)
Meski properti basah termasuk kamera...tapi semua masih terkendali alias masih bisa berfungsi normal (hebat juga kamera Bang Des..

***
Berada di perkampungan adat yang pantainya menjadi salah satu tempat bertelur penyu sangat mengasyikkan. Meski tim dari WWF sudah beberapa kali melakukan survei dan beramahtamah dengan warga kampung ini.Banyak banyak hal yang lagi-lagi tak terduga kami temui. 

 cap : Anak-anak Kampung wau

Rombongan kami langsung menuju ke rumah mama Tabitha. Rumahnya cukup besar. Mama Tabitha ini adalah perempuan ”yang dituakan” di Kampung Wau dan pemilik tanah dimana penyu-penyu itu bertelur. Kami menginap di rumah ini. 

 cap : Ngobrol dengan mama Tabitha

Nah, yang bikin repot ni...adalah urusan mandi dan panggilan alam lainnya. Meski ada beberapa rumah berjarak cukup berdekatan. Beberapa teman sedikit kebingungan mencari tempat untuk BAB...menahan BAB. Karena nggak ada MCK.

Sebenarnya sih tinggal memilih. Mo di pantai (menggali pasir seperti penyu), di hutan (siap ditemani babi hutan, anjing atau biawak), atau ke satu toilet milik warga yang jaraknya cukup jauh..nggak masalah. Tapi akan jadi masalah kalau itu malam hari kondisi gelap gulita karena tidak nggak ada listrik di kampung ini. penerangan menggunakan senter..alternatif terakhir (ngempet sampai kondisi memungkinkan untuk BAB....hiiiii)

Tantangan kedua, mama Tabitha memelihara banyak anjing di rumahnya. Bagi warga di sana anjing penjaga itu hal biasa. Bahkan menjadi hal wajib kali yaa..
Tapi, coba bayangkan kalau anjing itu juga punya aktifitas seperti pemilik rumahnya. Anjingnya bertebaran dimana-mana. Habis pergi dari pantai atau hutan, masuk rumah dan menjelajah sampai kamar dan dapur. Membaur menjadi satu dengan tuan rumah.Biasa masuk dan keluar rumah atau ”jak-jakan” di dalam kamar, beberapa ruanga hingga ke dapur menemani memasak...waaaakkkk


 cap : narsis di dapur mama Tabitha..(liat ada yang keliaran nggak..hiii)

Ini jadi parah..apalagi aku takut dengan binatang yang satu ini. Bikin nggak bisa tidur aja. Jangan-jangan tu anjing masuk kamar waktu kami tidur. Tidur beralas tikar dan sleeping bag dengan deg-degan kalau sewaktu-waktu ada anjing yang masuk. Namanya capek akhirnya bablas aja...

***

Paginya, aku dan beberapa teman mengelilingi perkampungan. Selain beramah tamah dengan warga kampung, melihat kondisi kampung yang ternyata nggak jauh jaraknya dari Manokwari (warga biasa pergi ke sana untuk belanjan keperluan dibanding pergi ke Sorong).

Lihat bangunan gedung sekolah dasar yang rusak karena gempa dan nggak ada bantuan pemerintah. Yang nampak tenda-tenda untuk sekolah darurat bagi anak-anak di kampung Wau.


 cap : di depan bangunan SD yang roboh kena gempa (bareng salah satu nahkoda speedboat)

Nah, satu lagi nih. Aku nggak tahu awal mulanya gimana waktu rombongan kami kumpul dengan beberapa warga untuk ngobrol soal penyu di depan rumah mama Tabitha, datang saudara mama (aku lupa namanya). Terjadi perdebatan dengan warga soal keberadaan kami di tempat mereka. Intinya dia nggak suka dengan keberadaan kami. Bicara banyaklah dia dengan bahasanya (aku nggak terlalu konek..)


 cap : ngobrol dengan mama tabitha

Yang aku dengar en bikin jantung deg-degan rasanya mo copot ketika dia mengacungkan parang dan mengancam kami. sereeem banget nih ancaman orang ini.

”Kalau nggak segera angkat kami dari tempat mereka, maka kami akan dibunuh satu persatu.”...

What happened next...

Follow me on part 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar