Senin, 11 Maret 2013

Melanjutkan Perjalanan




Gleek, tentu aja mulut kami langsung terkunci rapat mendengar ancaman yang nggak main-main.
Om Barnabas langsung turun tangan en jelasin kesalahpahaman si pemilik parang. Lebih kurang setengah jam semudian suasana ’’mencekam’’ udah bisa terkontrol kembali. Beberapa orang penduduk asli pergi meninggalkan kami.

Dengan kondisi kayak gitu, tentu aja kami memilih diam dan menyingkir perlahan. Permasalahan kemudian diselesaikan tim WWF.

Karena nggak ada yang ngomong banyak, akhirnya aku dan beberapa temanpun ikut menyingkir dari arena pertempuran. Kami memilih jalan-jaan di sekitar kampung. Melihat aktivitas warga yang jumlahnya tak seberapa. Anak-anak kecil bertelanjang dada berlarian.

Dan melihat sisa gempa di Manokwari yang meruntuhkan seuah sekolah satu-satunya di sini. Ya, anak-anak terpaksa tak bisa merasakan belajar dengan nyaman di gedung sekolahnya yang nyaris roboh. Sebagai gantinya beberapa tenda doom dipasang tak jauh dari bagunan sekolah. Tenda-tenda itu dipenuhi kursi dan menjadi sarana belajar sementara. Sungguh miris..

Memang jarak yang sangat jauh dari kota mengakibatkan sarana dan prasarana di kampung ini serba terbatas.

**
Hari beranjak siang. Kami menemukan banyak hal di kampung ini. Termasuk sisa-sisa cangkang penyu berukuran besar. Lantas kemana penghuni cangkang ini? Mereka telah dimangsa predator alias pemangsa. Entah itu manusia di sekitar kampung ini atau predator alami seperti babi hutan dan anjing.

Ini menjadi semacam ’’pembuka’’ sebelum kami benar-benar menemukan penyu yang sesungguhnya. Penyu yang kini sudah mulai jarang ditemui.

Mengelilingi kampung ini membawa kesan tersendiri sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Warmon dan Jamursbamedi. Dua pantai yang menjadi tempat peneluran terbesar di kawasan Pasifik barat. Wuiiihh...luar biasa, bukan?!
Kami bergegas menuju bibir panta setelah semua perlengkapan siap.

***

Perjalanan dilanjutkan. Kami pergi ke pantai Batu Besar di Jamursbamedi dengan naik speedboad selama dua jam. Shelter khusus pengamatan penyu. Di rumah ini tentu aja jauh dari peradaban. Cuman itu satu-satunya bangunan berbentuk rumah. Memandang ke depan udah laut. Ke belakang rumah nemu hutan...

Apa boleh buat..semua seadanya. Makan, minum, BAB (ada toilet kok), mandi di kali (sungai kecil yang airnya juerniih banget sampe betah rasanya nggak pengin mentas
dan bisa langsung buat minum), plus no listrik.
Minum air kelapa dari pohon kelapa yang ada di samping rumah. Masak mie rebus bareng-bareng trus makannya pake batok kelapa dengan sendok sabutnya... Sampai bikin selongsong ketupat en masak ketupat yang akhirnya kami bawa untuk perjalanan pulang.
jujur aja asyik banget meski diganggu agas yang banyak muncul dari balik pasir putih (gilaa..gatalnya bukan main. Kegigit bakalan bentol besar dan menghitam. Kalo pengen sembuh nunggu dua bulan kalee..bekasnya baru ilang)..ya ampuuuun. Bikin kaki nggak cuman bentol-bentol besar tapi juga menghitam. Kayak orang kena cacar gitu

Hingga kami harus menanti malam untuk hunting untuk ngintip penyu bertelur..menunggu dengan suara deburan ombak. Angin yang membuat tubuh sedikit menggigil.
(cerita selebihnya ada di tulisan...)

Cuman bayangin aja, tengah malam musti menyusuri pasir berkilo-kilo meter mencari jejak penyu yang naik ke darat atau kembali ke lautan. Hanya dengan headlamp dan handytalky untuk komunikasi tim yang menyebar...kalo nggak nyebar..duuh kapan dapet penyunya.

Jalan menyusuri pasir pun nggak mudah. Kadang langkah terasa berat karena kaki amplas ke dalam pasir. Belum lagi lewat aliran sungai kecil yang membelah batas pasir sehingga harus jalan memutar, meloncat. Dan satu lagi. Harus berhati-hati..karena ada buaya rawa yang kadang nongol mencari mangsa....waaaakkk

Duuh, perjalanan tengah malam yang menegangkan juga. Tapi seneng banget begitu mendengar suara patroler di walkytalky yang kasih info kalau mereka nemu penyu yang mencari tempat untuk bertelur..

Deg-degan liat penyu gede plus rasa penasaran mantenin penyu bertelur..hihiiiii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar