Gleek, tentu aja
mulut kami langsung terkunci rapat mendengar ancaman yang nggak main-main.
Om Barnabas
langsung turun tangan en jelasin kesalahpahaman si pemilik parang. Lebih kurang
setengah jam semudian suasana ’’mencekam’’ udah bisa terkontrol kembali.
Beberapa orang penduduk asli pergi meninggalkan kami.
Dengan kondisi
kayak gitu, tentu aja kami memilih diam dan menyingkir perlahan. Permasalahan
kemudian diselesaikan tim WWF.
Karena nggak ada
yang ngomong banyak, akhirnya aku dan beberapa temanpun ikut menyingkir dari arena
pertempuran. Kami memilih jalan-jaan di sekitar kampung. Melihat aktivitas
warga yang jumlahnya tak seberapa. Anak-anak kecil bertelanjang dada berlarian.
Dan melihat sisa
gempa di Manokwari yang meruntuhkan seuah sekolah satu-satunya di sini. Ya,
anak-anak terpaksa tak bisa merasakan belajar dengan nyaman di gedung
sekolahnya yang nyaris roboh. Sebagai gantinya beberapa tenda doom dipasang tak
jauh dari bagunan sekolah. Tenda-tenda itu dipenuhi kursi dan menjadi sarana
belajar sementara. Sungguh miris..
Memang jarak yang
sangat jauh dari kota mengakibatkan sarana dan prasarana di kampung ini serba
terbatas.
**
Hari beranjak
siang. Kami menemukan banyak hal di kampung ini. Termasuk sisa-sisa cangkang
penyu berukuran besar. Lantas kemana penghuni cangkang ini? Mereka telah
dimangsa predator alias pemangsa. Entah itu manusia di sekitar kampung ini atau
predator alami seperti babi hutan dan anjing.
Ini menjadi
semacam ’’pembuka’’ sebelum kami benar-benar menemukan penyu yang sesungguhnya.
Penyu yang kini sudah mulai jarang ditemui.
Mengelilingi
kampung ini membawa kesan tersendiri sebelum kami melanjutkan perjalanan ke
Pantai Warmon dan Jamursbamedi. Dua pantai yang menjadi tempat peneluran
terbesar di kawasan Pasifik barat. Wuiiihh...luar biasa, bukan?!
Kami bergegas
menuju bibir panta setelah semua perlengkapan siap.
***
Perjalanan
dilanjutkan. Kami pergi ke pantai Batu Besar di Jamursbamedi dengan naik speedboad
selama dua jam. Shelter khusus pengamatan penyu. Di rumah ini tentu aja jauh
dari peradaban. Cuman itu satu-satunya bangunan berbentuk rumah. Memandang ke
depan udah laut. Ke belakang rumah nemu hutan...
Apa boleh
buat..semua seadanya. Makan, minum, BAB (ada toilet kok), mandi di kali (sungai
kecil yang airnya juerniih banget sampe betah rasanya nggak pengin mentas
dan bisa langsung
buat minum), plus no listrik.
Minum air kelapa
dari pohon kelapa yang ada di samping rumah. Masak mie rebus bareng-bareng trus
makannya pake batok kelapa dengan sendok sabutnya... Sampai bikin selongsong
ketupat en masak ketupat yang akhirnya kami bawa untuk perjalanan pulang.
jujur aja asyik
banget meski diganggu agas yang banyak muncul dari balik pasir putih (gilaa..gatalnya
bukan main. Kegigit bakalan bentol besar dan menghitam. Kalo pengen sembuh
nunggu dua bulan kalee..bekasnya baru ilang)..ya ampuuuun. Bikin kaki nggak
cuman bentol-bentol besar tapi juga menghitam. Kayak orang kena cacar gitu
Hingga kami harus
menanti malam untuk hunting untuk ngintip penyu bertelur..menunggu dengan suara
deburan ombak. Angin yang membuat tubuh sedikit menggigil.
(cerita
selebihnya ada di tulisan...)
Cuman bayangin
aja, tengah malam musti menyusuri pasir berkilo-kilo meter mencari jejak penyu
yang naik ke darat atau kembali ke lautan. Hanya dengan headlamp dan handytalky
untuk komunikasi tim yang menyebar...kalo nggak nyebar..duuh kapan dapet
penyunya.
Jalan menyusuri
pasir pun nggak mudah. Kadang langkah terasa berat karena kaki amplas ke dalam
pasir. Belum lagi lewat aliran sungai kecil yang membelah batas pasir sehingga
harus jalan memutar, meloncat. Dan satu lagi. Harus berhati-hati..karena ada
buaya rawa yang kadang nongol mencari mangsa....waaaakkk
Duuh, perjalanan
tengah malam yang menegangkan juga. Tapi seneng banget begitu mendengar suara
patroler di walkytalky yang kasih info kalau mereka nemu penyu yang mencari
tempat untuk bertelur..
Deg-degan liat
penyu gede plus rasa penasaran mantenin penyu bertelur..hihiiiii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar