Minggu, 17 Maret 2013

Backpacker Wanna Be

its me


Jujur, setiap kali membaca kisah perjalanan para backpacker dunia, aku selalu takjub. Ya, keberanian, tekad dan kegilaaan menikmati pilihan hidupnya membuatku ngeces dan penasaran ingin mengikuti jejak gila mereka. 

Mereka bukanlah backpacking yang memanfaatkan liburan, cuti kemudian kembali ke kampung halaman. Tapi meninggalkan rumah dan hidup nomadik dari satu tempat ke tempat lainnya secara kontinyu.

Nggak punya alamat tetap! Ya, melakukan perjalanan tanpa beban. Asyik dan nggak ribet memikirkan tetek bengek macam highheels, make up tebal, hengot, party, bla..bla..bla.... Bekalnya cuman tas gendong alias ransel seberat 12 kilogram di punggungnya yang berisi pakaian secukupnya dan keperluan lain yang memang benar-benar penting kayak baju renang dan alat mandi, hehee.

Senin, 11 Maret 2013

Tips ke Papua…




Tips en trik ketika berada di Papua sebenarnya tergantung ke mana arah angin membawamu. Maksudnya, tergantung wilayah yang  kamu tuju. Tapi secara umum sih ini ini juga bisa menjadi referensi

Nah, aku cerita saja soal pengalamanku dua kali pergi ke Papua

Pengalaman pertama:
Tujuanku ke Papua Barat, tepatnya ke Abun.
Ini trip nekat. Bagaimana nggak. Aku hanya butuh waktu empat jam untuk meng-iyakan pergi, persiapan dan berangkat menuju bandara A Yani Semarang. Tentu saja termasuk meyakinkan si emak dan mencari tiket ke Jakarta. Jujur aja kalau bisa dibilang aku nekat dan tanpa persiapan. Apalagi ternyata medan yang di sana butuh fisik plus..nekat tadi, hehe.

Melanjutkan Perjalanan




Gleek, tentu aja mulut kami langsung terkunci rapat mendengar ancaman yang nggak main-main.
Om Barnabas langsung turun tangan en jelasin kesalahpahaman si pemilik parang. Lebih kurang setengah jam semudian suasana ’’mencekam’’ udah bisa terkontrol kembali. Beberapa orang penduduk asli pergi meninggalkan kami.

Dengan kondisi kayak gitu, tentu aja kami memilih diam dan menyingkir perlahan. Permasalahan kemudian diselesaikan tim WWF.

Karena nggak ada yang ngomong banyak, akhirnya aku dan beberapa temanpun ikut menyingkir dari arena pertempuran. Kami memilih jalan-jaan di sekitar kampung. Melihat aktivitas warga yang jumlahnya tak seberapa. Anak-anak kecil bertelanjang dada berlarian.

Dan melihat sisa gempa di Manokwari yang meruntuhkan seuah sekolah satu-satunya di sini. Ya, anak-anak terpaksa tak bisa merasakan belajar dengan nyaman di gedung sekolahnya yang nyaris roboh. Sebagai gantinya beberapa tenda doom dipasang tak jauh dari bagunan sekolah. Tenda-tenda itu dipenuhi kursi dan menjadi sarana belajar sementara. Sungguh miris..